BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Latar
belakangnya disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang
upacara adat yang ada di Indonesia. Indonesia merupakan Negara dengan bahasa
serta adat istiadat yang berbeda-beda dan juga beraneka ragam. Mulai dari
sabang sampai merauke Indonesia terbentuk dari 33 provinsi, dan tiap provinsi
di Indonesia memiliki adat istiadat mereka sendiri. Kali ini saya akan membahas
salah satu upacara adat istiadat yang ada di Provinsi Bali yaitu upacara adat Ngaben.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Pentingnya mengetahui macam-macam upacara adat
istiadat yang ada di Indonesia agar para generasi penerus bangsa akan selalu
tahu tentang keberagaman adat istiadat yang ada di Indonesia.
2.
Memberi tahu khalayak orang banyak tentang upacara
adat yang ada di Indonesia.
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.
Memberikan penjelasan mengenai upacara adat Bali
yaitu Ngaben.
2.
Menambah rasa ingin tahu tentang keberagaman
acara adat istiadat yang ada di Indonesia.
3.
Memberikan nilai-nilai positif kepada generasi
penerus bangsa agar lebih cinta terhadap kebudayaan Indonesia.
4.
Mengetahui cara dari masyarakat Bali mengadakan
upacara Ngaben tersebut.
Pembahasan
2.1 Pengertian Ngaben
Bali merupakan salah satu propinsi di
Indonesia yang memiliki penduduk terbanyak pemeluk agama hindu, degan
kepemelukan agama hindu ini penduduk bali memiliki kpercayaan layaknya pemeluk
hindu pada umumnya yang memilki kepercayaan terhadap roh. Menurut masyaratakat
ini setelah sesorang meninggal, rohnya tetap hidup untuk itu mereka mempunyai
upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang
disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan
Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan
kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
Ngaben secara umum didefinisikan
sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu
kurang tepat, sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat.
Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya
ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin
sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga
disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar
adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya
kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara
sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah.
Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan
upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau juga
atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama
entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali.
Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang
atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara. Dalam
bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang
berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian
Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua
cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara
membakar adalah yang paling cepat.Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut
pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti
membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur.
Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema
berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang beristana di
Tunon ini.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat
lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari
kata “api”. Kata api mendapat prefiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks
“an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”.
Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan
bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti
“menuju api”. Secara garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk
memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma
(Roh) kealam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu.
Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali
pada alamnya, yakni alam Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben
adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya,
yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi ke alam
pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bisa ditunda-tunda, mestinya begitu
meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini
sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada
upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum
sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun.
Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja
masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk
berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih
dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun. Tetapi sebenarnya dengan mengambil
jenis ngaben sederhana yang telah ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben
akan dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang
penting tujuan utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu
setahun untuk diaben, sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah
meninggal) harus dipendhem (dikubur) di setra (kuburan). Untuk tidak
menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan, sawa pun dibuatkan
upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha Bhuta
terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini. Ngaben
selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak bisa
ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar yaitu : Ngaben
berasal dari kata Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dana
berlebihan, orang tidak akan berani ngaben. Anggapan keliru ini kemudian
mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang tidak bisa ngaben, lantaran biaya
yang terbatas. Akibatnya leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat
bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Ngaben
merupakan salah satu upacara adat yang dilakukan oleh umat Hindu yang ada di
Bali yang tergolong upacara Pitra Yadna (upacara yang ditunjukan kepada
leluhur). Beberapa pengertian dari Ngaben, sebagai berikut :
1.
Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan
akhiran an, sehingga, menjadi ngapian, yang disandingkan menjadi ngapen yang
lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu
melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api
sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang
memimpin upacara).
2.
Versi lain mengatakan bahwa Ngaben berasal dari
kata beya yang artinya bekal, sehingga Ngaben juga berarti upacara memberi
bekal kepada leluhur untuk perjalanannya ke Sunia
Loka.
3.
Versi lain, Ngaben berasal dari kata
nge-“abu”-in. Disandingkan menjadi Ngaben, merupakan upacara pengembalian unsur
tubuh kepada unsur alam.
Gambar
1
2.2 Bentuk-bentuk
Upacara Ngaben
A.
Ngaben
Sawa Wedana
Sawa Wedana
adalah upacara Ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur
terlebih dahulu)
. Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari
hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara
dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan.
Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka
jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan
pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini
pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah
masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya
seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan
disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan
upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan
masih berada dilingkungan keluarganya.
B.
Ngaben
Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang
melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan
upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang
bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini
dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara
tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara
kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan
setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu
Pertiwi).
C.
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa
memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena
beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah
tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu
cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari
atma orang yang bersangkutan.
D.
Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk anak
yang belum tanggal gigi.
E.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi
yang keguguran.
2.3 Rangkaian Pelaksanaan Ritual
Upacara Ngaben
1. Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara
untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang
bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah
Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan berbeda sesuai dengan tata cara dan
tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan,
dan kuburan setempat.
2. Nyiramin/Ngemandusin, Merupakan upacara memandikan dan
membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilakukan dihalaman rumah keluarga
yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian
simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata,
daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan
kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta
apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang
lengkap (tidak cacat).
3. Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih
yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat
setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang
bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang
itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian
mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat
melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
4. Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh
mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan
dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih
hidup di dunia.
5. Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang
artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila
mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang
akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka
lakukan.
6. Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang
artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan
cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan
sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara
ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari
upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya
diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan
benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan
diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga
putus.
7. Pakiriman Ngutang, Setelah upacara papegatan maka akan
dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya
kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini
tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut
Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua
perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas
Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan
sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x
berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur
Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga
bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan
sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol
perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai
simbol perpisahan dengan dunia ini.
8. Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran
jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan ,
disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki
oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak
sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai
kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran
kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah
dikeluarkan airnya.
9. Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk
menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan
simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan
di laut, atau sungai.
10. Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari
setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah
membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang
melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil
dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun
di tengah hutan Demikian informasi tentang Upacara Adat Ngaben dari Pulau
Dewata bali, mari kita kenali dan lestarikan budaya bangsa kita sebagai wujud
cinta tanah air.
BAB III
Kesimpulan
3.1 Kesimpulan
Ngaben merupakan salah satu upacara
besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara Pitra Yadnya ini merupakan upacara
untuk orang yang sudah meninggal. Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh)
fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya,
dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan
dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.
Di setiap daerah di Bali adalah hal
yang lazim jika urutan acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda
walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat
Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan
menjadi tempat, waktu dan keadaan.
Jenazah diletakkan selayaknya sedang tidur,
dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur).
Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara
yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah
untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan
oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa
hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan
dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa
kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat
menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa,
memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani
reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda
kematian dan reinkarnasi).
Daftar Pustaka
aga, w. b.
(n.d.). makna dan tujuan ngaben di
bali. Retrieved 06 01, 2017, from www.wisatabaliaga.com:
http://www.wisatabaliaga.com/blog/makna-dan-tujuan-ngaben-di-bali/
indonesia,
b. (2014, 02). Upacara Adat Ngaben
Bali. Retrieved 06 01, 2017, from www.budayaindonesia.net:
http://www.budayaindonesia.net/2014/02/Upacara-Adat-Ngaben-Bali.html
wiki.
(n.d.). Ngaben. Retrieved 06
01, 2017, from id.wikipedia.org: https://id.wikipedia.org/wiki/Ngaben